Jumat, 24 Oktober 2008

SEKILAS DAERAH BIMA

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya
(Bungkarno)

Negara belum tentu negeri
Negeri kokoh menyatu dalam jiwa
Perjuangan untuk negeri
Adalah jalan diri memperjuangkan eksistensinya
(Parange Anaranggana)

Daerah Bima saat ini terbagi dalam dua wilayah, yakni wilayah kabupaten Bima dan wilayah kota Bima. Kota Bima sendiri terbentuk sejak Tahun 2003 melalui perda no. Tentang Pemekaran Wilayah Kabupaten Bima

SEJARAH RIMPU

Nilai-nilai lokal yang tercipta dengan pemikiran yang tajam
Punah atas nama kemajuan jaman
Kemunduran budaya terjadi karena dibarter dengan materi
Tanpa sadar bahwa budaya merupakan alat menciptakan materi
Harta yang tak ternilai.......
(Parange Anaranggana)

Sejarah peradaban menggambarkan bahwa dalam suatu komunitas maupun rumpun bangsa tertentu memiliki suatu identitas yang membedakan dengan komunitas atau bangsa lainnya. Ciri ini merupakan bagian yang menunjukkan jati diri suatu komunitas, daerah atau bangsa. Anggota-anggota komunitas dengan sekuat tenaga, daya dan upaya akan terus berusaha menjaga dan melestarikan jati diri yang dimilikinya. Mengabaikan identitas diri dan komunitas merupakan suatu langkah mundur yang mengarahkan identitas yang dimiliki menuju kepunahan atau dengan kata lain memudarnya eksistensi diri adalah hal yang sangat ditakutkan.
Bima (Dana Mbojo) sebagai suatu rumpun daerah sebagaimana dengan daerah-daerah lainnya memiliki identitas budaya tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Budaya ini merupakan kebiasaan turun temurun. Karena sifatnya yang turun temurun inilah maka menimbulkan sesuatu yang bersifat dinamis. Kedinamisan inilah yang mempengaruhi proses pelestarian dan penjagaan identitas diri ini menjadi berubah dan menimbulnya benturan-benturan yang akan menguburkan jati diri tersebut walaupun melalui proses yang sangat panjang.
Salah satu budaya dalam dimensi busana pada masyarakat Bima (Dou Mbojo) adalah budaya ”rimpu” yang telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima itu ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam).
Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas. Rimpu adalah pakaian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket). Kafa Mpida (Benang Kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan Muna. Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon).
Pada jaman-jaman dulu penggunaan motif ini menunjukkan strata sosial masyakat yang memakainya, misalnya songket yang nggusu waru biasanya dipakai oleh kalangan bangsawan (kalangan menengah ke atas) sementara sarung nggoli lebih banyak dipakai oleh kalangan menengah ke bawah. Walaupun demikian tidak terlihat adanya suatu kecemburuan sosial dalam kehidupan masyarakat Bima (Dou Mbojo).
Rimpu berdasarkan peruntukkannya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Rimpu Biasa, yaitu rimpu yang diperuntukkan bagi orang tua atau perempuan yang telah menikah.
2. Rimpu Mpida, yaitu rimpu yang diperuntukkan bagi remaja atau anak gadis.
Antara keduanya dalam hal cara penggunaannya hampir sama, hanya yang membedakannya adalah rimpu biasa lebih terbuka, maksudnya paras atau muka kelihatan. Sedangkan rimpu mpida hanya mata saja yang terlihat (seperti ninja).












Gambar 1 : Contoh Rimpu Biasa
Model : Siti Hawa/Fotografer : Parange Anaranggana


















Gambar 2 : Contoh Rimpu Mpida
Model : La Sani/Fotografer : Parange Anaranggana

Rimpu sendiri mulai ada sejak zaman ....... sekitar tahun.....sebelum ...... dan sesudah...

FAKTA EKSISTENSI RIMPU SAAT INI
Bila berada di Bima saat ini, pemandangan tidak lagi diliputi oleh perempuan-perempuan yang rimpu, tetapi lebih berwarna karena terkikis dan semakin berkurangnya orang-orang yang memegang teguh nilai rimpu tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Filosofi rimpu








INVESTIGASI KOMPARATIF UPAYA MEMPERTAHANKAN RIMPU BERDASARKAN KRONOLOGIS PENDUDUK BIMA
Secara kronologis penduduk Bima dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu (dalam Ismail M Hilir, 2004 : 14-19) :
1. Dou Donggo (Orang Donggo)
Dou Donggo merupakan penduduk yang paling lama mendiami daerah Bima kalau dibandingkan suku lain. Mereka dianggap sebagai penduduk asli Bima. Dou Donggo bermukin di daerah pegunungan dataran tinggi yang jauh dari pesisir. Mereka memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan Dou Mbojo (Orang Bima)
Berdasarkan daeah pemukiman Dou Donggo dapat dibagi dua, yaitu :
a Dou Donggo Ele (Orang Donggo Timur)
Mereka mendiami daerah dataran tinggi pegunungan di wilayah Bima Tengah, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Wawo Tengah. Daerah pemukiman mereka terdapat di sekitar Gunung Lambitu. Orang Donggo Ele terdiri dari orang Kuta, Teta, Sambori, Tarlawi, Kalodu, Kadi dan Kaboro. Dalam perkembangannya orang Donggo Ele melakukan pembauran (berasimilasi) dengan orang Mbojo, sehingga keaslian adapt istiadat dan bahasa mereka sudah hilang. Walaupun pada saat awal mereka kurang memahami ajaran Islam, namun saat sekarang mereka sudah menganut agama Islam. Tetapi pengaruh animisme dan dinamisme masih kelihatan.
Keadaan Dou Donggo Ele relative mundur kalau dibanding dengan Dou Mbojo. Tetapi akhir-akhir ini mereka amat giat mengejar ketinggalannya. Mereka sudah banyak menjadi sarjana, guru dan tokoh masyarakat. Mata pencaharian mereka adalah bertani, beternak dan berburu. Salah satu kebiasan mereka yang amat membahayakan kelestarian hutan dan sumber air adalah gemar melakukan perladangan berpindah-pindah. Namun, Dou Donggo Ele masih memiliki semangat gotong royong yang kuat dan murni.
b Dou Donggo Ipa (Orang Donggo Seberang)
Dou Donngo Ipa mendiami daerah dataran tinggi pegunungan di sebelah barat Teluk Bima, yaitu wilayah Kecamatan Donggo sekarang. Orang Donggo Ipa memiliki adapt istiadat yang berbeda dengan Dou Mbojo umumnya. Pada kahir-akhir ini keaslian adat istiadat mereka sudah mulai hilang, karena dalam perkembangannya mereka berasimilasi dengan Dou Mbojo.
Dou Donggo Ipa masih ada yang belum beragama Islam. Hal ini dimanfaatkan oleh para zending dan misi Kristen pada awal abad XX, pada saat Kesultanan Bima dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya sampai sekarang Orang Donggo Ipa menganut dua agama yaitu Islam dan Kristen yang diwarnai oleh pengaruh animisme dan dinamisme.
Keadaan mereka hampir sama dengan Orang Donggo Ele, mereka relatif mundur kalau dibandingkan dengan orang Mbojo. Tetapi pada saat sekarang mereka mat gigih untuk mengejar ketinggalannya, sehingga sudah banyak yang menjadi sarjana, guru, tokoh politik, dan pengusaha.
Mata pencahariannya sama dengan mata pencaharian Orang Donggo Ele yaitu bertani, beternak dan berburu. Mereka juga suka melakukan perladangan berpindah-pindah, sehingga dapat merusak kelestarian lingkungan. Hutan dan mata air di daerah pegunungan sudah gundul dan kering. Kalau tidak segera diatasi, pasti akan membahayakan kehidupan mereka di masa datang.
2. Dou Mbojo (Orang Bima)
Dou Mbojo merupakan pembauran orang Bima dengan Makassar dan Bugis, sebagai akibat dari hubungan yang sudah terjalin dengan baik sejak masa kerajaan, terutama pada masa Raja Manggampo Donggo dan Tureli Nggampo Ma Wa`a Bilmana.
Sejak bersirinya Kesultanan Bima tahun 1633, hubungan Bima dengan Makassar semakin erat. Orang Makassar, Bugis san Sulawesi Selatan lainnya bertambah banyak datang ke Bima. Mereka terdiri dari pedagang, politisi, ulama, pelaut dan militer. Kedatangan mereka ke Bima dalam rangka ikut membantu perkembangan politik dan agama di Bima. Mereka sudah menganut agama Islam. Masyarakat yang lahir dari pembauran inilah yang terkenal dengan nama Dou Mbojo (Orang Bima).
Adat istiadat dan bahasa Dou Mbojo tidak lain dari perpaduan asli Bima dengan adat istiadat Sulawesi Selatan terutama Makassar dan Bugis. Dou Mbojo merupakan penganut Islam yang taat, sehingga dalam kehidupan sosial budaya sehari-hari selalu diwarnai oleh Islam.
Kehidupan Dou Mbojo berdasarkan adat dan sara (hukum). Walaupun di kalangan Dou Mbojo mengenal bermacam-macam golongan masyarakat seperti sultan/raja, bangsawan dan rakyat biasa, namun hubungan ketiga golongan tersebut tetap bersifat demokratis dalam pengertian tidak kelihatan pengaruh feodalisme.
Dalam pendidikan, Dou Mbojo lebih maju bila dibandingkan dengan Dou Donggo. Mereka gemar merantau dan memiliki watak yang keras.
Masalah agama paling cepat menyentuh perasaan mereka. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan yang keras dan tegas terhadap orang yang dianggapnya melanggar hukum agama dan adat, tetapi akhir-akhir ini sikap tersebut semakin mengendur. Watak Dou Mbojo berbeda dengan watak orang Makassar dan Bugis. Sampai sekarang orang Makassar dan Bugis masih memiliki identitasnya. Budaya siri, pece dan were yang mewarnai kehidupan sosial budaya mereka.
3. Kaum Pendatang
Pendatang yang paling besar pengaruhnya ialah ”Dou Malaju” (Orang Melayu) dan ”Dou Ara” (Orang Arab). Latar belakang kedatangan mereka ke Bima sama dengan latar belakang sama dengan kehadiran orang Makassar dan Bugis. Pada masa awal kesultanan, mereka mulai datang ke Bima dalam rangka menyiarkan agama Islam dan berdagang. Mereka banyak yang menjadi ulama dan mubalig yang terkenal pada masa kesultanan.
Kedudukan mereka sebagai ulama amat dihormati baik oleh rakyat maupun oleh kalangan istana. Pada masa kesultanan ikut berperan di dalam lembaga pemerintahan terutama dalam lembaga sara hukum.
Dalam perkembangannya orang Arab dan Melayu sudah berasimilasi dengan Dou Mbojo. Begitu pula adat istiadat dan bahasanya, sampai sekarang masih ada perkampungan khusus bagi orang Melayu dan Arab yaitu Kampung Melayu dan Benteng yang berada di pesisir utara kota Bima.
Disamping orang Melayu dan Arab, masih ada pula pendatang lain seperti, orang Cina, Jawa, Madura, flores, Timur dan Maluku. Latar belakang kedatangan mereka sebagai pedagang dan ambtenar. Orang Cina merupakan pedagang yang ulet dan rajin, walaupun jumlahnya relatif lebih kecil, namun mempunyai peranan yang besar dalam roda perekonomian Bima.
Dalam upaya mempertahankan tradisi rimpu, berikut akan disarikan hasil wawancara dengan beberapa orang pemakai rimpu dari 3 rumpun orang Bima :

TANTANGAN MELESTARIKAN RIMPU
Live is struggle
Struggle need sacrifice

Dalam kehidupan didunia sebagai terminal menuju kehidupan sesungguhnya tidak akan terlepas dari hambatan dan rintangan. Yang berbeda hanyalah seberapa jauh dan besar tantangan itu hadir. Yang jelas tidak ada satupun yang terlepas darinya. Demikian pula dalam mempertahankan dan melestarikan suatu budaya.
Pengaruh Modernisme, sejarah Modernisme dan benturan-benturan paham lainnya.
Bertiupnya angin Modernisme meluluhlantahkan budaya-budaya yang selama ini berdiri kokoh.

Pakaian khas Daerah Bima tidak sejalan dengan budaya rimpu
Bila ditelusuri dengan jelas, kadang budaya atau adat sendiri saling tumpang tindih. Tidak selamanya budaya yang satu menguatkan budaya yang lainnya. Ketika dicermati dengan penuh obyektif, salah satu tantangan dalam melestarikan budaya rimpu adalah pakaian khas daerah Bima itu sendiri. Dimana pakaian khas daerahnya dapat dikatakan tidak sejalan dengan pakaian rimpu. Pakaian adat Bima lebih terbuka dan sanagat kontras sekali dengan rimpu. Pakaian adat Bima salah satunya adalah sebagai berikut :



























Gambar 3 : Pakaian Adat Bima
Sumber : ASI MBOJO (Istana Kerajaan Bima)

RIMPU DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Lahirnya Bima dalam naungan kesultanan
Adalah awal dari komitmen dalam ber-Islam
Manifestasi dari Raja Ma Wa`a Agama

Dalam hal berbusana untuk kaum perempuannya, ajaran Islam telah menjelaskan dengan gamblang dan komprehensif. Tata cara berbusana rimpu tidak jauh beda dengan budaya jilbab dalam Islam. Hanya yang menjadi titik pembedanya adalah cara memakainya dan kain yang digunakan.

UPAYA MEMBANGKITKAN ROH RIMPU

Memurnikan Tradisi Rimpu
Memurnikan tradisi rimpu yang penulis maksud adalah menyajikan kembali nilai-nilai positif yang dapat diperoleh dari rimpu. Nilai-nilai ini diajarkan disekolah-sekolah melalui mata pelajaran muatan lokal.

Festival Rimpu
Festifal rimpu ini bertujuan untuk melihat keterampilan remaja-remaja Bima dalam memakai rimpu, baik yang menyangkut caranya maupun fungsi serta nilai positif yang terandung didalamnya. Pemenang dari festival ini akan menjadi duta Bima dalam mempromosikan budaya rimpu itu sendiri. Festival ini diselenggarakan bertepatan dengan hari jadinya Bima atau hari-hari yang dinilai memiliki nilai bersejarah bagi masyarakat Bima.


Membumikan Al-Qur`an
Program membumikan Al-Qur`an yang dicanangkan oleh Bapak Ferry Zulkarnain selaku Bupati Bima sangat mendukung dalam upaya pelestarian budaya rimpu.

Jum`at Khusuk
Program Jum`at khusuk merupakan salah satu program yang dicanangkan dengan tujuan untuk membangun gairah dalam melaksanakan ajaran agama oleh karena latar belakang Bima sebagai kerajaan Islam. Program Jum`at Khusuk juga memberikan peluang bagi eksistensi lagi budaya rimpu terlepas dari kekurangan-kekurangan dari program ini.



Resume Bahan
Karawi Kaboju (Gotong Royong)
Kesultanan=Raja=feodalisme/absolutisme------- Tidak selamanya

Sistem politik dan pemerintahan yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah di Bima adalah (hal 22) :
Naka=jaman prasejarah
Ncuhi=pembauran, iptek diserap dari luar
Kerajaan=ilmu makin maju, iptek berkembang kuat.
Kesultanan
Swapraja
Swatantra
Kabupaten Dati II

(8) pada tahun 1633, La ka`i dinobatkan sebagai menjadi sultan Bima I dengan nama Sultan Abdul Kahir. Walaupun Islam sudah menjadi agama resmi kesultanan, namun adat yang tidak bertentangan dengan Islam tetap dipertahankan. Bahkan disamping sara`, adat tetap dipertahankan sebagai pedoman dalam pemerintahan Kesultanan.












BAHAN REFERENSI

Ismail, M. Hilir, 2005, Peran Kerajaan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, Uma Lengge, Mataram.
Loir, Henri Chambert, 2004, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, KPG (Kepustakaan Populer Grawedia), Jakarta.
www.kompas.com/kompas-cetak/0309/18/otonomi/567097.htm
www.bimacenter.com. Haruskah Rimpu? Diakses pada Tanggal 4 Januari 2008
www.SumbawaNews.com. Zainuddin, Sejarah Masyarakat dan Kerajaan Bima (Bagian I). Diakses Pada Tanggal 28 Desember 2007.